Kopi Toraja punya riwayat panjang. Ada banyak versi kapan dan siapa yang membawanya ke daerah ini sehingga setelah sekian lama menjadi kopi spesial yang benar-benar khas Toraja.
Sumber-sumber lisan merabanya hingga abad ke-17. Boleh jadi ini merujuk catatan terkait pengiriman bibit kopi yemen (baca: arabika) dari India kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia menjelang akhir abad ke-17. Satu rangkaian waktu dengan perkenalan orang-orang Ceylon dengan tanaman kopi sejenis, yang juga mulai menyebar hingga ke Nusantara pada 1658.
Dalam versi lain, seperti dilansir T William Bigalke (Tana Toraja: A Social History of An Indonesia People, 2005), cikal bakal kopi toraja diperkirakan baru dimulai pada paruh pertama abad ke-18. Tapi ini berangkat dari catatan Van Dijk ketika membuka perkebunan kopi di kawasan Rantekarua pada 1928, yang menyebutkan bahwa di Sa’dan ia menemukan kopi berusia sekitar 200 tahun.
Jika catatan mengenai kapan pastinya sejarah perkopian di Toraja bermula masih kabur, tidak demikian dengan dinamika sosial-politik yang menyertainya. Pada abad ke-19, kopi asal Toraja sudah jadi bahan pergunjingan di pesta-pesta elite di Batavia. Bahkan, sejak itu kopi toraja menjadi salah satu komoditas perdagangan yang dikirim ke Eropa.
Seperti halnya di Batavia, di Eropa pun kopi toraja langsung mendapat tempat di kalangan elite di sana, yang oleh masyarakat Toraja kala itu disetarakan dengan para dewa. Hanya saja, merek dagangnya bertumpang tindih dengan nama Kalosi (kalosi coffee), yang pada masa itu memang menjadi semacam ”pasar induk” perdagangan kopi di wilayah Toraja dan Enrekang.
Sejak itu pula Kopi Toraja jadi rebutan antarpedagang besar. Pedagang Arab dari Palopo di utara dan pedagang Bugis dari Sidenreng-Rappang-Bone di selatan saling bersaing. Sementara di Toraja sendiri antar-elite penguasa lokal pun tak akur. Masing-masing menjalin kontak dengan kedua pihak dari luar, termasuk dalam hal pasokan senjata.
Menjelang akhir abad ke-19, tepatnya pada 1889, konflik terbuka akibat perebutan ”emas hitam” itu tak terhindarkan. Sejarah pun mencatatnya sebagai ”Perang Kopi”, menandai satu babak dari perjalanan kopi toraja di panggung dunia, hingga akhirnya Belanda masuk menguasai kawasan pedalaman Sulawesi Selatan ini pada 1906.
Sumber-sumber lisan merabanya hingga abad ke-17. Boleh jadi ini merujuk catatan terkait pengiriman bibit kopi yemen (baca: arabika) dari India kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia menjelang akhir abad ke-17. Satu rangkaian waktu dengan perkenalan orang-orang Ceylon dengan tanaman kopi sejenis, yang juga mulai menyebar hingga ke Nusantara pada 1658.
Dalam versi lain, seperti dilansir T William Bigalke (Tana Toraja: A Social History of An Indonesia People, 2005), cikal bakal kopi toraja diperkirakan baru dimulai pada paruh pertama abad ke-18. Tapi ini berangkat dari catatan Van Dijk ketika membuka perkebunan kopi di kawasan Rantekarua pada 1928, yang menyebutkan bahwa di Sa’dan ia menemukan kopi berusia sekitar 200 tahun.
Jika catatan mengenai kapan pastinya sejarah perkopian di Toraja bermula masih kabur, tidak demikian dengan dinamika sosial-politik yang menyertainya. Pada abad ke-19, kopi asal Toraja sudah jadi bahan pergunjingan di pesta-pesta elite di Batavia. Bahkan, sejak itu kopi toraja menjadi salah satu komoditas perdagangan yang dikirim ke Eropa.
Seperti halnya di Batavia, di Eropa pun kopi toraja langsung mendapat tempat di kalangan elite di sana, yang oleh masyarakat Toraja kala itu disetarakan dengan para dewa. Hanya saja, merek dagangnya bertumpang tindih dengan nama Kalosi (kalosi coffee), yang pada masa itu memang menjadi semacam ”pasar induk” perdagangan kopi di wilayah Toraja dan Enrekang.
Sejak itu pula Kopi Toraja jadi rebutan antarpedagang besar. Pedagang Arab dari Palopo di utara dan pedagang Bugis dari Sidenreng-Rappang-Bone di selatan saling bersaing. Sementara di Toraja sendiri antar-elite penguasa lokal pun tak akur. Masing-masing menjalin kontak dengan kedua pihak dari luar, termasuk dalam hal pasokan senjata.
Menjelang akhir abad ke-19, tepatnya pada 1889, konflik terbuka akibat perebutan ”emas hitam” itu tak terhindarkan. Sejarah pun mencatatnya sebagai ”Perang Kopi”, menandai satu babak dari perjalanan kopi toraja di panggung dunia, hingga akhirnya Belanda masuk menguasai kawasan pedalaman Sulawesi Selatan ini pada 1906.